Media Sosial Menghipnotis Praktik Jurnalistik Abad Kini

Media Sosial Mempengaruhi Praktik Jurnalistik Media Sosial Mempengaruhi Praktik Jurnalistik Masa Kini
Media Sosial mengubah praktik dan metode jurnalistik. Akankah jurnalisme berahan di kala media sosial?

Media Sosial Mempengaruhi Praktik Jurnalistik. Saya sudah membahasnya di postingan Pengaruh Media Sosial terhadap Praktik Jurnalistik.

Tulisan lainnya: Jurnalisme Media Sosial 1, Jurnalisme Media Sosial 2, dan Jurnalistik di Era Media Sosial.

Saya juga "gencar" memerangi jurnalisme umpan klik (clickbait) yang merupakan jurnalisme kuning (yellow journalism) versi media online.

Kali ini saya share dua artikel wacana hubungan jurnalistik dan media umum yang, sayangnya, mengkhawatirkan idealisme jurnalistik.


Jurnalisme di Era Media Sosial


Jennifer Alejandro, seorang jurnalis Singapura yang mempunyai pengalaman lebih dari 15 tahun dan ketika ini menjadi pembawa isu di Channel News Asia, telah mempelajari bagaimana media sosial, menyerupai Twitter, Facebook, MySpace, dan LinkedIn, telah menghipnotis cara kerja forum pers atau media dan wartawannya.
 

Dalam makalahnya, Jurnalism in the Age of Social Media, Jenny menyertakan sebuah survei wacana penggunaan media umum dalam operasi isu di antara editor kepala terpilih dari banyak sekali serpihan dunia.  

Sebanyak 5 dari 6 editor yang disurvei menyampaikan kecepatan (speed) atau kedekatan (immediacy) ialah aspek media umum yang paling membantu mereka dalam mendapatkan berita.  

Mereka mengatakan, media utama yang dipakai media umum mereka ialah merek (branding) dan hadir (make a presence) di ranah media sosial, mengarahkan kemudian lintas ke situs web isu dan isu terbaru (breaking news).

Risiko utama yang mereka identifikasi berkaitan dengan akurasi, kebutuhan akan verifikasi, dan hilangnya kontrol atas informasi.

Jenny juga mensurvei 135 wartawan wacana cara media umum menghipnotis pekerjaan mereka, cara peliputan atau pengumpulan materi isu (newsgathering) telah berubah dan bagaimana informasi isu disebarluaskan.  


Di antara temuannya ialah di dunia web 2.0, wartawan harus siap menjawab pertanyaan dan bersedia untuk menghadapi kebanggaan atau kritik .
Dia berpendapat, para wartawan (jurnalis online) juga harus menyisihkan waktu untuk menilik tanggapan atau komentar, dan melanjutkan diskusi.  


Jenny menyimpulkan, 'Jurnalisme tidak mati, tapi hanya berkembang dan para jurnalis di masa depan perlu menemukan kembali dirinya juga.'

DOWNLOAD: Jurnalism in the Age of Social Media


Akankah Jurnalisme Bertahan Era Media Sosial?

Fragmentasi media yang diperkenalkan oleh teknologi digital dan kini diperkuat oleh platform sosial yang berpengaruh hadir dengan risiko terhadap jurnalisme dan demokrasi, memperingatkan Ricardo Gandour, administrator grup media Estado Brazil, yang meliputi surat kabar harian berusia 141 tahun, O Estado de S .Paulo.

"Selama sepuluh tahun terakhir saya telah berpikir, berguru dan mengajarkan wacana risiko jurnalisme dan demokrasi bila ruang isu menyerupai yang kita ketahui menghilang," kata Gandour dari New York, seorang sarjana tamu di Columbia Graduate School of Jurnalistik.
 

Blog, platform media sosial, dan aplikasi perpesanan, telah meningkatkan kekhawatiran Gandour wacana apakah kita sanggup mempertahankan praktik dan metode jurnalistik.  

"Sejalan dengan kemungkinan mengagumkan yang tak terbantahkan dari hyperconnections yang diizinkan oleh jaringan, fenomena fragmentasi sanggup melemahkan pemeliharaan praktik dan metodologi jurnalistik. Kita harus peduli wacana hal itu hari ini bila kita ingin mentransfer nilai jurnalisme ke generasi mendatang, " kata Gandour.

"Media sosial telah mendorong kedangkalan, dengan tanggapan instan baik suka atau tidak suka, berkontribusi terhadap masyarakat yang terpolarisasi. Kami kehilangan nuansa dalam perdebatan kami, "dia mengingatkan.

Melek media (media lterasi) juga terkena imbas buruk. Konsumen muda sering tidak sanggup membedakan antara pendapat dan fakta. Mereka juga tidak lagi mempunyai hierarki berita, diperkuat dengan tata letak dan desain cetak, untuk menggambar.
 

"Kita harus menghindari pelabelan diskusi ini sebagai nostalgia. Mengatakan ini ialah cara gampang untuk mengabaikan sebuah diskusi penting. " (Sumber).

Demikian ulasan ringkas berupa terjemahan/saduran dari dua posting wacana jurnalistik vs media sosial. 

Kata kunci terpenting dari dua artikel di atas ialah kekuatan media umum melemahkan praktik dan metodologi jurnalistik. 

Fenomena umpan klik (clickbait) merupakan dampak jelek konkret perkembangan media sosial. Wartawan jadi dangkal ketika berpikir untuk menciptakan judul berita. Masa depan ilmu jurnalistik pun suram alasannya diabaikan media-media penganut jurnalisme umpan klik demi trafik. Wasalam. ().*

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel