Banyak Media Tidak Berpihak Pada Publik, Kebebasan Pers Milik Owner

 Pers Indonesia tengah berada di persimpangan jalan dan dihadapkan pada banyak sekali pilihan y Banyak Media Tidak Berpihak pada Publik, Kebebasan Pers Milik Owner
Pertahankan Kebebasan Pers. Image: FreePress.net.*
Pers Indonesia tengah berada di persimpangan jalan dan dihadapkan pada banyak sekali pilihan yang sanggup menjauhkan pers dari tanggung jawab sebagai pilar demokrasi yang bekerja untuk kepentingan rakyat banyak.

Demikian pandangan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Margiono.

Diterangkan, pers Indonesia menghadapi bahaya dari tiga hal yang tiba di dikala bersamaan, ialah kepentingan politik, kepentingan korporasi, dan gempuran berita media umum yang sering kali mengabaikan fakta dan kebenaran.

"Kita kini menyaksikan bagaiman kepentingan kelompok politik menimbulkan pers sebagai alat kepentingan. Pengabdian pers tidak lagi pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, tapi pada kepentingan politik partai dan atau politisi. Ini memprihatinkan," ujar Margiono dikutip kompetensi wartawan.

SAYA, Anda juga, tentu sependapat dengan pandangan di atas. Bisa dikatakan, dikala ini tidak ada media besar yang sepenuhnya bekerja untuk publik, mengabdi kepada kepentingan orang banyak.

Sas-sus yang berkembang, media-media besar yang pemiliknya tidak terjun ke politik sudah dikendalikan kekuatan politik tertentu dengan kucuran dana berlimpah.

Sudah pasti, media-media yang dimiliki "petinggi partai politik" akan menjadi corong kepentingan politik.

Tegasnya, lebih banyak didominasi media besar (mainstream) dikala ini menjadi pembela kepentingan penguasa. Publik "terpaksa" mencari sendiri berita "penyeimbang" yang bertebaran di media umum atau di media-media "marginal" menyerupai blog.

Para wartawan yang bekerja di media-media besar bukan tidak mau menaati kaidah jurnalisme "loyalitas pertama untuk publik", tapi mereka terpaksa mengorbankan idealisme alasannya tekanan dan paksaan pemilik media.

Kompetensi Wartawan yang diusulkan Margiono di atas juga bersama-sama bukan solusi. Meskipun wartawan sudah kompeten, lulus uji kompetensi, namun mereka tidak akan sanggup lepas dari belenggu "kebijakan redaksi" (editorial policy) medianya masing-masing, terutama media yang menjadi alat kepentingan politik semacam Media Group dan MNC Media.

Publik sudah sanggup membedakan mana media yang mengabdi kepada rakyat dan mana media yang menjadi corong penguasa. Media-media besar umumnya menjadi corong penguasa, sebagaimana zaman Orde Baru.

Wajar bila kini bermunculan media-media yang dulu disebut  "media bawah tanah" (underground media) dengann platform media umum dan blog.

Media-media mainstream lambat-laun ditinggalkan pembaca bila terus-menerus hanya memainkan sebagai budak kepentingan politik, bukan mengabdi kepada pembaca (publik). Wasalam. ().*

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel